بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
Andaikata kita benar-benar bisa menempatkan diri secara tepat di dalam hidup ini, niscaya hidup kita akan lebih ringan, lebih indah, dan lebih barokah.
Sayang kita kadang tidak cukup waktu untuk mengenal diri sehingga kita merasa lebih dari kenyataan atau merasa lebih rendah dari karunia yang Allah berikan.
Syekh Ibnu Atho'illah berfatwa dalam kitabnya Al-Hikam
"Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan. Sebab tiap sesuatu yang tumbuh tetapi tidak di tanam, maka tidak sempurna hasil buahnya."
Saudaraku, akar yang menghujam ke dalam tanah membuat pohon kian kokoh. Tapi pohon yang akarnya jauh dari tanah, disiram air, pohon bisa rontok. Makin kokoh menghujam, dihempas badai, diterjang topan, ditiup angin, tidak goyah. Tampaknya, orang-orang yang benar-benar menikmati hidup buah dari amal adalah orang yang tawadhu; orang-orang yang rendah hati.
Saudara-saudaraku, banyak beramal tidak berarti langsung selamat. Sebelum amal terlaksana, tipu dayanya adalah enggan beramal dan niat yang salah yaitu ingin dipuji amal-amalnya sebagai kebaikan. Ketika sedang beramal, cobaannya adalah enggan menyempurnakan amal. Dan ketika selesai beramal, ada lagi cobaannya, yaitu menjadi ujub, merasa diri paling beramal dan merasa diri lebih dari orang lain. Semua ini benar-benar butuh perjuangan. Imam Ibnu Athaillah menganjurkan agar kita tawadhu dengan menanam di bumi kerendahan hati agar sempurna amal-amal kita.
Jika kita benar-benar ingin menikmati tawadhu, beberapa hal yang harus kita fahami adalah:
1. Kita harus selalu sadar bahwa yang membuat kita mampu beramal bukan murni diri kita sendiri, tapi ada rahmat dan taufiq Allah pada diri kita. Misalnya kita bisa bersedekah uangnya dari mana kalau tidak dititipi rezeki dari Allah. Andai kita punya uang, tapi Allah tidak memberikan jalan bagi kita karena orang-orang di sekitar kita tidak butuh, maka kita tidak mungkin bersedekah. Setelah ada rejeki, oleh Allah digerakkan untuk bertemu dengan orang yang perlu pembangunan masjid, ada yang perlu dilunasi hutang, itu Allah yang mengatur. Setelah kita bisa bersedekah, diringankan hati kita. sehingga sudah seharusnya saat kita telah beramal baik, maka ucapkan syukur "Alhamdulillaah". Dengan mengetahui hakikat bahwa rangkaian semua amal ini hanya Allah-lah yang berbuat, maka di hati kita bisa terhindar dari sikap bangga atau merasa lebih baik dari orang lain. ^_^
Ibnul Qayyim Jauzi mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya.
Ciri-ciri kita kurang ikhlas adalah, andaikata kita sudah merasa beramal. Apalagi kita merasa ikhlas. Orang yang merasa ikhlas, dia ingin diketahui oleh orang lain keikhlasannya, berarti belum ikhlas. Karena dia masih membutuhkan orang lain agar tahu bahwa dirinya ikhlas dan dia senang ketika dia diketahui ikhlas. Berarti dia belum ikhlas.
2. Lupakan amal kebaikan yang telah kita lakukan. Karena kallau kita mengingat-ingat amal kebaikan kita, bisa jadi hati kita merasa butuh diakui sebagai orang yang paling baik, butuh ditulis dalam sejarah, butuh disebut-sebut dihadapan manusia, itu semua bisa merusak amal kita. Sehingga amal kita tidak lagi ikhlas mengharap ridlo Allah Ta'ala, tapi hanya berharap pengakuan manusia bahwa diri kita adalah orang yang baik.
Semakin kita mengingat-ingat pengaruh kita, kedudukan kita, amal kita, ilmu kita, makin kita ingat maka semakin kita butuh diakui oleh makhluk, yang akhirnya makin tidak ikhlas.
3. Ingat akan dosa-dosa kita dan kekurangsempurnaan ibadah kita terhadap Allah Ta'ala. Dengan selalu mengingat bahwa diri kita manusia biasa yang tidak mungkin bisa lepas dari salah dan dosa, maka kita pun terhindar dari sikap sombong dan akan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Karena menyadari diri kita juga punya salah dan dosa pada orang lain sama seperti orang lain.
4. Tidak melihat orang lain dengan pandangan bahwa dia lebih rendah dari diri kita. Setiap melihat orang, lihat kelebihannya yang belum ada pada diri kita.
Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Futuh Al Ghaib mengatakan bahwa Tawadlu' adalah perasaan rendah hati seseorang. dan inilah wasiat beliau dalam kitabnya tersebut.
Ketika engkau melihat orang lain, engkau mungkin bergumam, `Barang kali dia lebih baik dan lebih tinggi posisinya daripada aku di sisi Allah.'
Ketika engkau melihat yang lebih muda, engkau berujar, 'Dia belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku telah bergelimang dosa. Dia lebih baik daripada aku.'
Bila bertemu dengan orang yang lebih tua, engkau berkata, Inilah hamba Allah yang lebih dahulu hidup di dunia ini sehingga lebih banyak ibadahnya dariku.'
Bila bertemu dengan orang berilmu, engkau berucap, ‘Orang ini mendapat anugerah yang tidak kudapat. Dia memperoleh apa yang tidak kuperoleh. Dia berilmu, sementara aku bodoh. Dia pun mengamalkan ilmunya.'
Jika bertemu dengan orang bodoh, engkau berkomentar, Dia bermaksiat kepada Allah karena tidak tahu, maka ampunan baginya. Sedangkan aku bermaksiat padahal aku tahu bahwa itu maksiat. Aku tidak tahu bagaimana hidupku berakhir dan tidak tahu pula bagaimana hidupnya berakhir.'
Jika seorang hamba telah seperti itu, dan semua itu keluar dari hatinya yang bening dan bersih (tidak dibuat-buat), maka dia akan selamat dari siksa Allah karena sifat tawadlu'nya. ^_^
Barangsiapa yang bersikap tawadlu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat.
Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi (HR. Al-Baihaqi)
Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang memiliki puncak kemuliaan, puncak kedudukan. Beliau adalah seorang Nabi dan Rasul terakhir. Beliau adalah seorang pemimpin yang tangguh, tapi beliau adalah seorang yang sangat rendah hati. Beliau menyapa dengan ramah dan lembut kepada siapa pun penuh dengan rasa hormat. Tiada seorang pun yang berjumpa kepada beliau kecuali beliau menatap dengan wajah penuh senyuman dan cerah bagai purnama. Beliau tidak membeda-bedakan tamu kaya dan miskin. Beliau menerima undangan walau hanya makanan yang amat sederhana. Beliau berjalan dengan suka cita walaupun diundang oleh sekedar hamba sahaya. Beliau tidak menjadi bangga dengan naik unta yang bagus dan tidak pernah malu dan minder dengan menunggang keledai walaupun hanya dibonceng. Di rumah nabi Muhammad yang amat sederhana, beliau menjahit sendiri baju atau terompahnya yang sobek, merapikan kamarnya sendiri, memeras susu tanpa ingin menjadi beban orang lain. Jika beliau pergi ke pasar, beliau lebih menyukai jika beliau membawa sendiri belanjaannya. Subhaanallaah...betapa tawadlu'nya Rasulullah, sudahkah kita meneladaninya??? jawabannya ada di hati kita masing-masing ^_^
Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani berkata, “Mengapakah Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi? Karena beliaulah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluq) Allah; Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.
Karena itulah, tak seorang pun mencapai kedudukan seperti beliau di Hadirat Ilahiah, tak seorang pun dihormati dan dipuji di Hadirat Ilahiah sebanyak Penutup para Nabi, Muhammad saw. Karena itulah, Allah Ta'ala memberikan salam bagi beliau, dengan mengatakan:
“As-Salaamu ‘Alayka Ayyuha an-Nabiyyu (“Keselamatan bagimu, wahai Nabi!);.
Allah SWT tidak mengatakan, “Keselamatan bagimu, wahai Muhammad; Tidak!! Melainkan, “Keselamatan bagimu, Wahai Nabi!;
Dan kita kini mengulangi salam dari Allah Ta'ala bagi Nabi Muhammad tersebut minimal sembilan kali dalam shalat-shalat harian kita, saat kita melakukan tasyahhud.
Salam Ilahiah ini tidaklah dikaruniakan bagi siapa pun yang lain. Ini adalah puncak tertinggi suatu pujian dari Tuhan segenap alam bagi Nabi-Nya. Beliau telah mencapai suatu puncak tertinggi di mana tak seorang pun dapat mencapainya, semata karena kerendah hatiannya.
Karena itu pula, beliau mewakili Keagungan Allah dalam seluruh ciptaan-Nya. Ego Sang Nabi telah habis dan berserah diri kepada Allah Ta'ala.
Mengapa ego kita selalu saja mendominasi gerak langkah kita? Bisa jadi, karena kita membiarkan setan mengajari diri kita dengan tipu muslihatnya. Kita diajari oleh setan, bagaimana menjadi orang yang terhormat atau menjadi orang yang pertama. Dan kita juga diajari oleh setan bagaimana memiliki ego seperti egonya Fir’aun, Namrudz, Qarun dan lain sebagainya.
Karena itulah, banyak sekali orang kini ingin mewakili egonya mereka, bukan untuk mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam
Wahai Dzat Yang Maha Mendengar, ampuni jika selama ini kami termasuk amat sombong dalam pandangan-Mu. Ampuni jika kami sering membesar-besarkan diri kami dan meremehkan keagungan-Mu. Ampuni jika kami sering mendustakan kebenaranMu. Ampuni jika kami meremehkan agama-Mu ya Allah. Ampuni jika Engkau saksikan kami enggan menerima nasehat.
Saudara-saudaraku, alangkah indahnya jikalau kita termasuk orang yang dipandang oleh Allah dengan pandangan Ridlo-Nya. Sebenarnya apa yang harus kita sombongkan pada diri kita? tidak ada kan ^_^ karena sesungguhnya hidup, ilmu, rezeki semuanya hanyalah titipan Allah, bukan milik kita sendiri.
Mudah-mudahan kerendahan hati kita memacu amal kebajikan yang kita lakukan. Menjadi amal yang diterima oleh Allah dan memperkokoh kehidupan kita.... Aamiin Allaahumma Aamiin ^_^
Sumber :http://www.facebook.com/#!/notes/imam-nawawi/kajian-kitab-hikam-karya-syekh-ibnu-athoillaah-tentang-rendah-hati-_/10150392440208203الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Andaikata kita benar-benar bisa menempatkan diri secara tepat di dalam hidup ini, niscaya hidup kita akan lebih ringan, lebih indah, dan lebih barokah.
Sayang kita kadang tidak cukup waktu untuk mengenal diri sehingga kita merasa lebih dari kenyataan atau merasa lebih rendah dari karunia yang Allah berikan.
Syekh Ibnu Atho'illah berfatwa dalam kitabnya Al-Hikam
"Tanamlah dirimu dalam tanah kerendahan. Sebab tiap sesuatu yang tumbuh tetapi tidak di tanam, maka tidak sempurna hasil buahnya."
Saudaraku, akar yang menghujam ke dalam tanah membuat pohon kian kokoh. Tapi pohon yang akarnya jauh dari tanah, disiram air, pohon bisa rontok. Makin kokoh menghujam, dihempas badai, diterjang topan, ditiup angin, tidak goyah. Tampaknya, orang-orang yang benar-benar menikmati hidup buah dari amal adalah orang yang tawadhu; orang-orang yang rendah hati.
Saudara-saudaraku, banyak beramal tidak berarti langsung selamat. Sebelum amal terlaksana, tipu dayanya adalah enggan beramal dan niat yang salah yaitu ingin dipuji amal-amalnya sebagai kebaikan. Ketika sedang beramal, cobaannya adalah enggan menyempurnakan amal. Dan ketika selesai beramal, ada lagi cobaannya, yaitu menjadi ujub, merasa diri paling beramal dan merasa diri lebih dari orang lain. Semua ini benar-benar butuh perjuangan. Imam Ibnu Athaillah menganjurkan agar kita tawadhu dengan menanam di bumi kerendahan hati agar sempurna amal-amal kita.
Jika kita benar-benar ingin menikmati tawadhu, beberapa hal yang harus kita fahami adalah:
1. Kita harus selalu sadar bahwa yang membuat kita mampu beramal bukan murni diri kita sendiri, tapi ada rahmat dan taufiq Allah pada diri kita. Misalnya kita bisa bersedekah uangnya dari mana kalau tidak dititipi rezeki dari Allah. Andai kita punya uang, tapi Allah tidak memberikan jalan bagi kita karena orang-orang di sekitar kita tidak butuh, maka kita tidak mungkin bersedekah. Setelah ada rejeki, oleh Allah digerakkan untuk bertemu dengan orang yang perlu pembangunan masjid, ada yang perlu dilunasi hutang, itu Allah yang mengatur. Setelah kita bisa bersedekah, diringankan hati kita. sehingga sudah seharusnya saat kita telah beramal baik, maka ucapkan syukur "Alhamdulillaah". Dengan mengetahui hakikat bahwa rangkaian semua amal ini hanya Allah-lah yang berbuat, maka di hati kita bisa terhindar dari sikap bangga atau merasa lebih baik dari orang lain. ^_^
Ibnul Qayyim Jauzi mengatakan, “Salah satu tanda kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta bersikap rendah hati kepada mereka.”
Beliau melanjutkan, “Dan tanda kebinasaan yaitu tatkala semakin bertambah ilmunya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakannya. Dan setiap kali bertambah amalnya maka bertambahlah keangkuhannya, dia semakin meremehkan manusia dan terlalu bersangka baik kepada dirinya sendiri. Semakin bertambah umurnya maka bertambahlah ketamakannya. Setiap kali bertambah banyak hartanya maka dia semakin pelit dan tidak mau membantu sesama. Dan setiap kali meningkat kedudukan dan derajatnya maka bertambahlah kesombongan dan kecongkakan dirinya.
Ciri-ciri kita kurang ikhlas adalah, andaikata kita sudah merasa beramal. Apalagi kita merasa ikhlas. Orang yang merasa ikhlas, dia ingin diketahui oleh orang lain keikhlasannya, berarti belum ikhlas. Karena dia masih membutuhkan orang lain agar tahu bahwa dirinya ikhlas dan dia senang ketika dia diketahui ikhlas. Berarti dia belum ikhlas.
2. Lupakan amal kebaikan yang telah kita lakukan. Karena kallau kita mengingat-ingat amal kebaikan kita, bisa jadi hati kita merasa butuh diakui sebagai orang yang paling baik, butuh ditulis dalam sejarah, butuh disebut-sebut dihadapan manusia, itu semua bisa merusak amal kita. Sehingga amal kita tidak lagi ikhlas mengharap ridlo Allah Ta'ala, tapi hanya berharap pengakuan manusia bahwa diri kita adalah orang yang baik.
Semakin kita mengingat-ingat pengaruh kita, kedudukan kita, amal kita, ilmu kita, makin kita ingat maka semakin kita butuh diakui oleh makhluk, yang akhirnya makin tidak ikhlas.
3. Ingat akan dosa-dosa kita dan kekurangsempurnaan ibadah kita terhadap Allah Ta'ala. Dengan selalu mengingat bahwa diri kita manusia biasa yang tidak mungkin bisa lepas dari salah dan dosa, maka kita pun terhindar dari sikap sombong dan akan mudah memaafkan kesalahan orang lain. Karena menyadari diri kita juga punya salah dan dosa pada orang lain sama seperti orang lain.
4. Tidak melihat orang lain dengan pandangan bahwa dia lebih rendah dari diri kita. Setiap melihat orang, lihat kelebihannya yang belum ada pada diri kita.
Syaikh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Futuh Al Ghaib mengatakan bahwa Tawadlu' adalah perasaan rendah hati seseorang. dan inilah wasiat beliau dalam kitabnya tersebut.
Ketika engkau melihat orang lain, engkau mungkin bergumam, `Barang kali dia lebih baik dan lebih tinggi posisinya daripada aku di sisi Allah.'
Ketika engkau melihat yang lebih muda, engkau berujar, 'Dia belum bermaksiat kepada Allah, sementara aku telah bergelimang dosa. Dia lebih baik daripada aku.'
Bila bertemu dengan orang yang lebih tua, engkau berkata, Inilah hamba Allah yang lebih dahulu hidup di dunia ini sehingga lebih banyak ibadahnya dariku.'
Bila bertemu dengan orang berilmu, engkau berucap, ‘Orang ini mendapat anugerah yang tidak kudapat. Dia memperoleh apa yang tidak kuperoleh. Dia berilmu, sementara aku bodoh. Dia pun mengamalkan ilmunya.'
Jika bertemu dengan orang bodoh, engkau berkomentar, Dia bermaksiat kepada Allah karena tidak tahu, maka ampunan baginya. Sedangkan aku bermaksiat padahal aku tahu bahwa itu maksiat. Aku tidak tahu bagaimana hidupku berakhir dan tidak tahu pula bagaimana hidupnya berakhir.'
Jika seorang hamba telah seperti itu, dan semua itu keluar dari hatinya yang bening dan bersih (tidak dibuat-buat), maka dia akan selamat dari siksa Allah karena sifat tawadlu'nya. ^_^
Barangsiapa yang bersikap tawadlu’ karena mencari ridho Allah maka Allah akan meninggikan derajatnya. Ia menganggap dirinya tiada berharga, namun dalam pandangan orang lain ia sangat terhormat.
Barangsiapa yang menyombongkan diri maka Allah akan menghinakannya. Ia menganggap dirinya terhormat, padahal dalam pandangan orang lain ia sangat hina, bahkan lebih hina daripada anjing dan babi (HR. Al-Baihaqi)
Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang memiliki puncak kemuliaan, puncak kedudukan. Beliau adalah seorang Nabi dan Rasul terakhir. Beliau adalah seorang pemimpin yang tangguh, tapi beliau adalah seorang yang sangat rendah hati. Beliau menyapa dengan ramah dan lembut kepada siapa pun penuh dengan rasa hormat. Tiada seorang pun yang berjumpa kepada beliau kecuali beliau menatap dengan wajah penuh senyuman dan cerah bagai purnama. Beliau tidak membeda-bedakan tamu kaya dan miskin. Beliau menerima undangan walau hanya makanan yang amat sederhana. Beliau berjalan dengan suka cita walaupun diundang oleh sekedar hamba sahaya. Beliau tidak menjadi bangga dengan naik unta yang bagus dan tidak pernah malu dan minder dengan menunggang keledai walaupun hanya dibonceng. Di rumah nabi Muhammad yang amat sederhana, beliau menjahit sendiri baju atau terompahnya yang sobek, merapikan kamarnya sendiri, memeras susu tanpa ingin menjadi beban orang lain. Jika beliau pergi ke pasar, beliau lebih menyukai jika beliau membawa sendiri belanjaannya. Subhaanallaah...betapa tawadlu'nya Rasulullah, sudahkah kita meneladaninya??? jawabannya ada di hati kita masing-masing ^_^
Syaikh ‘Abdullah Faiz ad-Daghestani berkata, “Mengapakah Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam menjadi seseorang yang paling terpuji dan terhormat di Hadirat Ilahi? Karena beliaulah yang paling rendah hati di antara seluruh ciptaan (makhluq) Allah; Beliau selalu duduk seakan bagai seorang hamba di hadapan tuan pemiliknya, dan selalu pula makan sebagai seorang hamba atau pekerja yang makan di hadapan tuan pemiliknya. Beliau tak pernah duduk di atas meja.
Karena itulah, tak seorang pun mencapai kedudukan seperti beliau di Hadirat Ilahiah, tak seorang pun dihormati dan dipuji di Hadirat Ilahiah sebanyak Penutup para Nabi, Muhammad saw. Karena itulah, Allah Ta'ala memberikan salam bagi beliau, dengan mengatakan:
“As-Salaamu ‘Alayka Ayyuha an-Nabiyyu (“Keselamatan bagimu, wahai Nabi!);.
Allah SWT tidak mengatakan, “Keselamatan bagimu, wahai Muhammad; Tidak!! Melainkan, “Keselamatan bagimu, Wahai Nabi!;
Dan kita kini mengulangi salam dari Allah Ta'ala bagi Nabi Muhammad tersebut minimal sembilan kali dalam shalat-shalat harian kita, saat kita melakukan tasyahhud.
Salam Ilahiah ini tidaklah dikaruniakan bagi siapa pun yang lain. Ini adalah puncak tertinggi suatu pujian dari Tuhan segenap alam bagi Nabi-Nya. Beliau telah mencapai suatu puncak tertinggi di mana tak seorang pun dapat mencapainya, semata karena kerendah hatiannya.
Karena itu pula, beliau mewakili Keagungan Allah dalam seluruh ciptaan-Nya. Ego Sang Nabi telah habis dan berserah diri kepada Allah Ta'ala.
Mengapa ego kita selalu saja mendominasi gerak langkah kita? Bisa jadi, karena kita membiarkan setan mengajari diri kita dengan tipu muslihatnya. Kita diajari oleh setan, bagaimana menjadi orang yang terhormat atau menjadi orang yang pertama. Dan kita juga diajari oleh setan bagaimana memiliki ego seperti egonya Fir’aun, Namrudz, Qarun dan lain sebagainya.
Karena itulah, banyak sekali orang kini ingin mewakili egonya mereka, bukan untuk mewakili sang penutup para Nabi yaitu Nabi Muhammad shollallahu 'alaihi wa sallam
Wahai Dzat Yang Maha Mendengar, ampuni jika selama ini kami termasuk amat sombong dalam pandangan-Mu. Ampuni jika kami sering membesar-besarkan diri kami dan meremehkan keagungan-Mu. Ampuni jika kami sering mendustakan kebenaranMu. Ampuni jika kami meremehkan agama-Mu ya Allah. Ampuni jika Engkau saksikan kami enggan menerima nasehat.
Saudara-saudaraku, alangkah indahnya jikalau kita termasuk orang yang dipandang oleh Allah dengan pandangan Ridlo-Nya. Sebenarnya apa yang harus kita sombongkan pada diri kita? tidak ada kan ^_^ karena sesungguhnya hidup, ilmu, rezeki semuanya hanyalah titipan Allah, bukan milik kita sendiri.
Mudah-mudahan kerendahan hati kita memacu amal kebajikan yang kita lakukan. Menjadi amal yang diterima oleh Allah dan memperkokoh kehidupan kita.... Aamiin Allaahumma Aamiin ^_^
Sumber :http://www.facebook.com/#!/notes/imam-nawawi/kajian-kitab-hikam-karya-syekh-ibnu-athoillaah-tentang-rendah-hati-_/10150392440208203الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ
1 komentar:
assalaamu'alaikum......numpang mampir....subhanallooh....
Posting Komentar